(Manusia-Manusia Langit)
Oleh : Helvy Tiana Rosa
Oleh : Helvy Tiana Rosa
Senja yang basah. Hujan baru saja berhenti. Matahari yang sendiri hampir tiba ke peraduannya. Kini cuma semesta sunyi yang bicara. Sesekali terdengar desir angin.
Aku memandang sekitar dengan hati tersayat. Jalan raya yang begitu lengang namun porak poranda, remntuhan gedung yang berserakan, mayat-mayat yang bergelimpang-an, bau amis darah bercampur dengan bau mesiu diudara.
Hari ini, di inti kota Sarajevo, baru saja usai suatu pem-bantaian. Pembantaian besar-besaran dan sangat keji. Di hadapanku saja kini tergeletak puluhan jasad tanpa nyawa. Bentuk mereka sudah tak karuan! Masya Allah..., aku sendiri heran, mengapa aku sanggup menyaksikan semua, padahal tadinya aku adalah orang yang tak tahan melihat setetes darah pun!
Aku memandang sekitar dengan hati tersayat. Jalan raya yang begitu lengang namun porak poranda, remntuhan gedung yang berserakan, mayat-mayat yang bergelimpang-an, bau amis darah bercampur dengan bau mesiu diudara.
Hari ini, di inti kota Sarajevo, baru saja usai suatu pem-bantaian. Pembantaian besar-besaran dan sangat keji. Di hadapanku saja kini tergeletak puluhan jasad tanpa nyawa. Bentuk mereka sudah tak karuan! Masya Allah..., aku sendiri heran, mengapa aku sanggup menyaksikan semua, padahal tadinya aku adalah orang yang tak tahan melihat setetes darah pun!
Sambil menahan geram aku berjalan tertatih-tatih mening-galkan arena pembantaian itu. Kupejamkan mata saat lang-kah ini terpaksa menyusuri tubuh-tubuh tak berdosa yang kini tanpa nyawa itu. Baru beberapa langkah berjalan... kudengar ada langkah lain dibelakangku. Dan ketika aku menoleh, kulihat seorang gadis kecil menatapku. la mengenakan keru-dung putih tanpa jahitan, yang diikat begitu saja di batas leher. Gadis kecil itu masih menatapku. Dingin. Wajahnya tampak beku. Seolah tubuh mungil itu hampa rasa!
Dengan tenang gadis kecil itu menelusuri mayat-mayat yang ada. Kelihatannya ia mencari seseorang. Aku meman-dangnya haru. Kemudian kulihat ia berjongkok di hadapan satu sosok lelaki yang masih sangat muda. Dilepaskannya kerudung putihnya. Ia tutupi wajah mayat itu dengan keru-dung tersebut. Lalu perlahan ia bangkit, tanpa rasa takut sedikit pun, menghampiriku.
"Zdrauo..." suaraku serak menyapanya. "Siapa dia?" tanyaku pelan.
Ia diam saja mata birunya memandangku tanpa sinar sama sekali. Dapat kurasakan beban dukanya.
"Aku Aisyah. Aku bukan orang sini," Kataku lagi.
"Ya, tahu," kata gadis itu datar. "Aku Azetvica, Fatimah Azetvica," sambungnya dengan suara bocah yang sangat lugu.
Aku tersenyum pada gadis kecil yang umurnya kutaksir sekitar tujuh tahun itu. Kugenggam tangannya dan kuajak melangkah menjauhi tempat berdarah itu.
Tiba-tiba Fathimah mendekap muka dengan kedua tangan, "Muhammad... Muhammad Garenovic, abangku! Ia kemari bersamaku. la mengantri roti untuk ku... tapi... tentara itu datang dan..."
"Bersabarlah sayang," kataku berusaha menghibur, walau hatiku galau.
"Ia satu-satunya yang ada! Ia satu-satunya yang tersisa! Aku tak punya siapa-siapa lagi!"
Aku berhenti melangkah, berjongkok dan menghapus air mata Fathimah yang menetes satu-satu. Sementara aku pun hampir tak mampu membendung kaca-kaca bening di mata-ku.
"Sebulan yang lalu..., orang tua kami meninggal... setelah dianiaya. Mereka tahu kami mus...lim," kata Fathimah lagi. "Aku... tak.... tahu harus kemana..."
Kupeluk ia kuat-kuat. "Bumi Allah itu luas, sayang. Tak ada yang berhak merampasnya!"
Kami pun bergandengan tangan melangkah. Kurasakan jemari mungilnya menggenggam erat tangan ini. Hatiku pilu.
Fathimah Azetvica kubawa ke rumahku yang sederhana. Rumah batu yang baru dua bulan kutempati sendiri. Kubeli dengan harga murah dari sebuah keluarga kecil yang ber-tekad mengungsi dari Sarajevo. Tampaknya rumah ini cukup 'terpencil'. Meski masih berada di Sarajevo juga.